Selasa, 14 April 2015

Learning Trajectory

Behaviorism Theory
Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori behaviorisme yaitu Skinner, Thorndike, Pavlov. Teori behaviorisme menjelaskan pembelajaran dalam kaitannya dengan lingkungan. Meskipun teori dari tokoh-tokoh tersebut memiliki karakteristik tersendiri, namun tokoh behavioris secara umum memandang pembelajaran sebagai sebuah proses pembentukan asosiasi-asosiasi antara stimulus-stimulus dan respon-respon (Schunk, 2012: 156).
Papalia (2010: 43) menyebutkan bahwa behaviorisme merupakan teori pembelajaran yang menekankan peran lingkungan yang dapat diprediksikan sebagai sebab perilaku yang teramati. Behavioris meyakini bahwa manusia di semua tingkatan usia mempelajari dunia dengan cara yang sama dengan yang dilakukan organisme lain, yaitu dengan bereaksi terhadap kondisi, atau aspek lingkungan mereka, yang dengannya mereka menemukan kepuasan, kesedihan, atau ancaman. Penelitian behavioral focus kepada pembelajaran asosiatif, di mana hubungan mental antara dua peristiwa terbentuk.
Sesuai dengan teori ini, siswa akan meningkatkan respon yang baik apabila dikondisikan dengan penguatan (reinforcement). Alur pikir siswa dalam proses pembelajaran mengarahkan bahwa stimulus yang diberikan guru akan memberikan respon yang lebih baik dari biasanya apabila diberi penguat respon. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran seorang guru selalu mengaktifkan penguatan-penguatan yang dilakukan secara konsisten agar terjadi perubahan perilaku ataupun peningkatan pengetahuan bagi siswa. 

Social Cognitive Theory,
Menurut Santrock (2012: 30), teori kognitif sosial menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan kognisi merupakan faktor penting dalam perkembangan siswa. Psikolog dari Amerika, Albert Bandura merupakan tokoh utama dari teori kognitif sosial. Bandura dalam Santrock (2012: 30) menegaskan bahwa proses-proses kognitif memiliki kaitan penting dengan lingkungan dan perilaku. Fokus utama dari teori ini yaitu pembelajaran melalui observasi atau observational learning (disebut juga imitation atau modeling), yaitu pembelajaran dengan menggunakan observasi terhadap hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Berdasarkan teori tersebut dapat terlihat bahwa sesungguhnya siswa mempelajari hal-hal baru dari proses observasi dalam bentuk imitation atau modeling. Dari hal tersebut maka dalam proses pembelajaran seorang guru memfasilitasi siswanya dengan memberikan contoh-contoh yang baik. Seperti pada penanaman karakter yang baik pada siswa, seorang guru dapat menampilkan karakter yang baik pada dirinya sendiri untuk diobservasi siswa. Selain itu juga dapat ditampilkan tokoh-tokoh berkarakter baik yang dapat diamati dan ditiru oleh siswa.

Cognitive Information Proccesing,
Santrock (2012: 29) menyebutkan bahwa teori kognitif pemrosesan informasi mengedepankan bahwa siswa memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi-informasi yang ditemuinya. Teori kognitif pemrosesan informasi serupa dengan teori Vygotsky. Pada teori ini, siswa secara bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Robert Siegler dalam Santrock (2012: 29) memaparkan bahwa ketika siswa menangkap, menuliskan sandi (encoding), menampilkan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi maka mereka sedang berpikir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa inti teori ini adalah proses memori dan pemikiran.

Meaningful Learning Theory
Ausubel dalam Schunk (2012: 306) menyebutkan bahwa belajar menjadi bermakna ketika materi yang baru memiliki hubungan sistematis dengan konsep-konsep yang relevan dengan Long Term Memory, yang berarti materi baru memperluas, memodifikasi, atau mengembangkan informasi dalam memori. Kebermaknaan juga tergantung pada variabel-variabel personal seperti usia, latar belakang pengalaman, status sosial-ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Pengalaman-pengalaman yang telah lalu menentukan apakah siswa merasa pembelajarannya memiliki makna.
Ausubel mendukung pengajaran deduktif, ide-ide umum diajarkan terlebih dahulu baru diikuti dengan poin-poin spesifik. Dalam hal ini guru harus membantu siswa memecah ide-ide menjadi poin-poin yang lebih kecil dan spesifik, dan menghubungkan ide-ide baru dengan muatan serupa di dalam memori.

Developmental Approach
Developmental Approach dapat diartikan dengan pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan manusia. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan teori-teori perkembangan manusia. Meece dalam Schunk (2012: 611) mengidentifikasikan teori perkembangan menjadi lima kelas teori utama yaitu biologi, psikoanalitik, perilaku (behavior), kognitif, dan kontekstual.

·         Teori biologi
Pada teori biologi memandang individu berjalan melalui urutan tahapan yang tidak bervariasi. Perkembangan dipandang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga komponen kemajuan tahapan ditentukan oleh genetik. Dari hal ini memberi pandangan bahwa siswa dapat memahami suatu perhitungan dikarenakan bawaan lahir. Inteligensi merupakan bawaan dari lahir.
·         Teori Psikoanalitik
Pada teori psikoanalitik, perkembangan menampilkan serangkaian perubahan di dalam kepribadian yang dibawa oleh pemenuh kebutuhan. Tahapan memiliki sifat yang berbeda secara kualitatif. Dua pencetus teori psikoanalitik terkenal adalah Sigmund Freud dan Erik Erikson. Pandangan Freud, apabila kebutuhan untuk memperoleh kepuasan kurang terpenuhi atau terlalu terpenuhi, individu akan mengalami fiksasi atau terkunci di tahap perkembangan itu. Tahap perkembangan Freud terdiri dari tahap oral, anal, falik, laten dan genital. Seperti halnya Freud, Erikson menyatakan bahwa individu melalui tahap-tahap perkembangan yang saling terpisah dan berlaku universal. Teori Erikson mencakup delapan tahap perkembangan manusia.Delapan tahapan tersebut yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, prakarsa versus rasa bersalah, semangat versus rasa rendah diri, identitas versus kebingungan identitas, keakraban versus keterkucilan, generativitas versus stagnasi, dan integritas versus keputusasaan.
Schunk (2012: 612) menyebutkan bahwa teori psikoanalitik menekankan peran faktor pembawaan dalam perkembangan. Kebutuhan merupakan pembawaan dari perkembangan manusia dan pembelajaran dalam perkembangan dibutuhkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan.
·         Teori perilaku atau behavior
Teori perilaku atau behavior berbeda dengan teori biologis dan psikoanalitik yang menekankan pada bawaan. Pada teori ini perubahan utama dari perkembangan terjadi sebagai akibat dari pengkondisian. Teori ini juga menekankan bahwa perubahan utama dalam perilaku berasal dari lingkungan, yang memberikan stimulus yang direspon anak dan pelaksanaan dan hukuman sebagai konsekuensi tindakan mereka.
·         Teori kognitif
Teori kognitif dimulai oleh penelitian Piaget di awal tahun 1960-an. Schunk (2012: 613) memaparkan bahwa teori kognitif memberi pengaruh dalam bidang perkembangan manusia. Teori kognitif bersifat konstruktif. Teori ini mendalilkan bahwa pemahaman tidaklah otomatis. Dalam teori ini memiliki anggapan bahwa siswa menerima informasi dan memformulasikan pengetahuan mereka. Pendukung teori kognitif adalah teori Piaget, Vygotski, teori pemrosesan informasi ( Santrock, 2012: 27). Santrok (2012: 27) memaparkan bahwa teori Piaget menyatakan bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mereka mengenai dunia dan melalui empat tahap perkembangan kognitif yang terdiri dari tahap sensorimotor, tahap praoperasi, tahap operasional konkret, tahap operasional formal. Kemudian teori Vygotski menitikberatkan atau memfokuskan bagaimana budaya dan interaksi sosial mengarahkan perkembangan kognitif. Dan teori pemrosesan informasi mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi-informasi yang ditemuinya.
·         Teori kontekstual
Schunk (2012: 614) menjelaskan bahwa dalam teori ini menyoroti peran yang dimainkan faktor sosial dan budaya. Model kontekstual terkenal diformulasikan oleh Bronfenbrenner, yang mendalilkan bahwa dunia social anak dapat dikonsepkan sebagai satu set lingkaran konsentris. Bronfenbrenner dalam Papalia (2010 : 53) mengidentifikasikan lima system kontekstual yang saling berkaitan, mulai dari yang paling dekat hingga yang paling luas yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, makrosystem, dan kronosystem. Mikrosistem merupakan istilah Bronfenbrenner untuk tata situasi tempat anak berinteraksi dengan yang lain dalam keadaan bertatap muka dan terjadi dalam keseharian. Mesosistem adalah istilah untuk keterhubungan antara dua atau lebih mikrosistem. Exosistem adalah istilah untuk hubungan antara dua atau lebih tata situasi, dan salah satunya tidak mengandung anak yang sedang berkembang. Makrosistem adalah istilah untuk keseluruhan pola kultural masyarakat. Dan kronosistem adalah istilah terhadap efek waktu dalam sistem perkembangan lain. Bronfenbenner dalam Papalia (2010: 55) memandang bahwa seseorang bukansemata-mata hasil dari perkembangan tetapi juga pebentuk perkembangan. Manusia memberi dampak pada perkembangannya sendiri melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan keterampilan, kecacatan serta temperamen.  
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan perkembangan mengedepankan fase perkembangan siswa. Sehingga proses pembelajaran menyesuaikan dengan fase perkembangan siswa.

Social Formation Theory
Teori ini dapat diartikan menjadi teori formasi sosial. Teori ini memberikan pandangan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Tokoh teori ini adalah Vygotski.
Interaksi sosial dipelajari anak dari orang yang kemampuan intelektualnya di atas kemampuan siswa. Guru berperan sebagai pengarah dan pemandu kegiatan siswa dan mendorong siswa yang mampu untuk bekerja mandiri.
Pembelajaran berdasarkan scaffolding yaitu memberikan keterampilan yang penting untuk pemecahan masalah secara mandiri seperti berdiskusi dengan siswa, praktek langsung dan memberikan penguatan. Guru yang memberikan bantuan penuh secara bertahap justru akan mengurangi pemahaman siswa.
Zone of proximal development (ZPD) adalah wilayah di mana anak mampu untuk belajar dengan bantuan orang yang kompeten. Area ini berada antara kemampuan anak belajar sendiri dan apa yang masih mampu diupayakannya dengan bantuan orang lain.

Representation and Discovery Learning
Sugihartono (2013: 111) menyebutkan bahwa Jerome Brunner mempelopori pendekatan penemuan (discovery). Menurut Brunner, belajar adalah proses yang bersifat aktif terkait dengan ide Discovery Learning yaitu siswa berinteraksi dengan lingkungannya melalui eksplorasi dan manipulasi obyek, membuat pertanyaan dan menyelenggarakan eksperimen. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam siswa adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil.
Brunner mengemukakan bahwa proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang dikemukakan Piaget. Brunner menjelaskan perkembangan dalam tiga tahap, yaitu:
1.    Enaktif (0-3 tahun), yaitu pemahaman anak dicapai melalui eksplorasi dirinya sendiri dan manipulasi fisik-motorik melalui pengalaman sensori.
2.    Ikonik (3-8 tahun), anak menyadari sesuatu ada secara mandiri melalui gambar yang konkret bukan yang abstrak.
3.    Simbolik (>8 tahun), anak sudah memahami simbol-simbol dan konsep seperti bahasa dan angka sebagai representasi simbol.

Constructivist Approach
Schunk (2012: 580) menyebutkan bahwa pakar-pakar konstruktivis terkemuka mengasumsikan bahwa siswa menyusun pengetahuan dan cara untuk mendapatkan pengetahuan dan menerapkannya. Kaum konstruktivis memandang pengaturan-diri pada siswa bersandar pada asumsi tertentu. Asumsi-asumsi tersebut yaitu:
·           Ada sebuah motivasi intrinsik untuk mencari informasi
·           Pemahaman melampaui informasi yang diberikan
·           Representasi mental berubah seiring perkembangan
·           Ada perbaikan progresif dalam tingkatan pemahaman
·           Ada hambatan perkembangan dalam pembelajaran
·           Refleksi dan rekonstruksi merangsang pembelajaran
Adanya pendekatan kontruktivis melibatkan koordinasi fungsi mental, seperti memori, perencanaan, evaluasi, dan sintesis. Siswa menggunakan alat dalam budaya mereka, misalnya bahasa dan simbol, untuk menyusun makna isi dan situasi. Melalui pendekatan ini mereka menyusun sendiri dan mengatur sendiri pengetahuan dari lingkungan mereka, kemudian mereka mengubah dan mengadaptasinya untuk digunakan bagi pengetahuan baru yang dibangun oleh mereka sendiri.

Social Approach
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang menekankan interaksi dengan lingkungan. Pendekatan sosial dapat dikaitkan dengan teori-teori yang mengedepankan konteks sosial seperti teori dari Bandura, dan Vygotski.
Melalui pendekatan sosial seorang guru mengedepankan interaksi sosial lingkungan pada pembelajaran. Sesuai teori Bandura, siswa siswa belajar dengan cara mengobservasi dan mengimitasi model, yang mereka lakukan dengan melihat orang lain. Vygotski memandang bahwa sumber pikiran siswa terdapat pada proses social. Menurut Vigotski dalam Papalia (2010: 56) menyebutkan bahwa orang dewasa atau teman sebaya maupun teman yang lebih tua dapat membantu mengarahkan dan mengorganisasi proses pembelajaran anak sebelum anak mampu menguasainya dan menginternalisasinya. Oleh karena itu dalam pembelajaran seorang guru harus dapat menjadi fasilitator yang baik dan juga menjadi model yang baik. Bimbingan dari guru ini sangat efektif dalam membantu anak untuk melewati zone of proximal development (ZPD), kesenjangan antara apa yang telah dapat mereka lakukan sendiri dan apa yang belum dapat dilakukan seorang diri oleh siswa.

Technological Approach
Pendekatan berbasis teknologi merupakan proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi untuk membelajarkan siswa. Pendekatan ini menjadi pilihan guru untuk melayani keragaman kecerdasan yang dimiliki siswa dan juga gaya belajar siswa. Horward Gardner menyatakan ada delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan logika matematika, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan visual dan kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, serta kecerdasan naturalis. Selain keragaman dan kemajemukan kecerdasan, siswa juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Ada tiga macam gaya belajar yaitu gaya belajar visual, audio, dan kinestetik.
Untuk memfasilitasi keberagaman kecerdasan dan gaya belajar siswa, seorang guru harus memilih pendekatan yang dapat mencakup seluruh kebutuhan tersebut. Adanya perkembangan teknologi menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran. Pendekatan berbasis teknologi merupakan inovasi dari pengembangan sebuah konsep dalam bidang ilmiah untuk menjelaskan sifat dan tingkat perubahan teknologi.


Hubungan berbagai macam teori dengan Alur Belajar Siswa

Belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa. Kegiatan belajar memberikan dampak perubahan ke arah yang lebih baik bagi diri siswa. Proses pembelajaran dengan memberdayakan siswa akan menjadikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran bermakna bagi siswa merupakan pembelajaran yang membekas pada ingatan siswa dalam ingatan yang lama. Seorang guru dapat memfasilitasi dengan cara melihat cara belajar siswa, dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat. Pendekatan perkembangan digunakan untuk mengimbangi tingkat kematangan perkembangan siswa. Pendekatan dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik siswa yang muncul di setiap fase perkembangan. Pembelajaran discovery, pendekatan kontruktivis, dan pendekatan teknologi digunakan guru dalam membelajarkan siswa untuk mencapai pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran bermakna ini awalnya dimulai dengan memperhatikan teori behavior yang mengedepankan mengenai perilaku atau respon siswa. Seorang guru harus dapat memprediksi perubahan perilaku siswa atau respon siswa. Setelah itu guru juga harus dapat memahami bahwa sebenarnya siswa itu belajar dari kegiatannya dalam mengobservasi atau mengamati ke lingkungan sekitar. Proses ini berkaitan dengan teori social, baik kognitif sosial maupun formasi sosial. Dari hal ini seorang guru harus dapat memanipulasi lingkungan belajar siswa, sehingga proses imitasi akan memberikan dampak perubahan perilaku yang lebih baik. Selain itu dengan mengaktifkan pendampingan dan tutor sebaya dapat memaksimalkan ZPD yang dimiliki siswa. Setelah itu seorang guru juga harus bisamemahami teori tentang pemrosesan informasi. Sehingga guru dapat memaksimalkan siswa dalam memproses pengetahuan yang diperolehnya. Siswa dapat menyusun strategi yang baik dalam memanipulasi dan memproses informasi baru menjadi sebuah pengetahuan. Menurut saya itu semua adalah pengelolaan dari seorang guru dalam membangun Learning Trajectory dan menerapkan Teaching Trajectory sehingga siswa dapat terfasilitasi. Dan segala kebutuhan siswa terpenuhi. Selain itu kompetensi siswa secara keseluruhan dapat berkembang secara maksimal.






DAFTAR PUSTAKA

Papalia, Diane E., et al. (2010). Human Development Psikologi Perkembangan (9th ed). Terjemahan A. K, Anwar. Jakarta: Kencana.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup (Edisi Ketigabelas Jilid I). (Terjemahan Benedictine Widyasinta). Jakarta: Erlangga.
Schunk, Dale H. (2012). Learning Theories An Educational Perspective (Edisi Keenam). (Terjemahan Eva Hamdiah, Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihartono, dkk. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar