Selasa, 16 Juni 2015

Akuntabilitas Pembelajaran Matematika di SD

Oleh
Ratna Winahyu Hadiyanti
NIM. 14712251007
Pendidikan Dasar Konsentrasi Praktisi



Refleksi Lesson Study di SDN Sodo Gunung Kidul
pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015
dengan Guru Model Sri Indhah S., S.Pd & Wulan Setyaningsih, S. Pd.



“Orang terlahir di dunia itu dipercaya~~Prof. Dr. Marsigit, M.A”



Pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015 diadakan open class di SDN Sodo Gunung Kidul. Kegiatan ini berlangsung di kelas IV dengan jumlah siswa sebanyak 26 siswa. Open class diselenggarakan dalam rangka Lesson Study yang bertujuan untuk membuka keberhasilan dalam pembelajaran, karena dalam model lesson study bukan guru model saja yang tahu kelemahan, kekurangan, dan kelebihan dari kegiatan pembelajaran. Namun dari kegiatan lesson study dapat diketahui unsur-unsur mana yang harus dibenahi dan unsur apa yang harus segera dipenuhi. Sehingga kekurangan-kekurangan akan segera dipenuhi dan kelebihan-kelebihan akan dipertahankan guna mencapai tujuan ideal pembelajaran yang diharapkan.
Lesson study merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan sustainable, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran.
Kegiatan lesson study di SDN Sodo di Gunung Kidul disambut baik oleh kalangan praktisi pendidikan di wilayah Gunung Kidul. Acara ini disambut baik oleh Kepala Dinas Pendidikan Gunung Kidul, Kepala UPT dan Pengawas Wilayah SDN Sodo, serta Kepala Sekolah dan guru-guru SDN Sodo. Tak lupa kegiatan yang telah direncanakan dengan baik oleh mahasiswa program pascasarjana jurusan pendidikan dasar ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A.
Kegiatan ini direncanakan dengan baik oleh tim dimulai dari penyusunan perangkat pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan learning trajectory. Oleh karena itu Rencana Pelaksaan Pembelajaran sudah sangat baik memuat sintak yang mencerminkan strategi, pendekatan, model dan metode serta dilengkapi dengan learning trajectory. Dari membaca RPP, observer sudah dapat melihat materi yang telah diajarkan sebelumnya dan memprediksi materi yang dibelajarkan saat itu serta materi lanjutannya.
Dalam pelaksanaannya sungguh sangat memuaskan, hal ini diucapkan oleh guru model itu sendiri. Sebagai guru sangat tidak menyangka bahwa siswa memiliki potensi luar biasa. Siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Dan sesuai dengan yang dikatakan oleh Prof. Marsigit bahwa orang terlahir di dunia itu dipercaya. Sebagai seorang guru seharusnya memiliki suatu pikiran positif terhadap siswa-siswanya, bahwa siswa-siswanya merupakan siswa akuntabilitas apabila siswa diberdayakan dengan baik.
Pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan berjalan dengan baik dan lancar. Memang tak ada hal yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah, pada pelaksanaan pembelajaran terdapat satu accident kecil karena kesalahan dalam pembagian kelompok. Saat pembagian kelompok guru menjadikannya sebagai kompetisi dan juga diberi waktu yang sangat singkat sehingga ada seorang siswa yang terjepit meja. Selain itu apersepsi yang tidak sesuai dengan rencana pembelajaran juga menjadi masukan dari beberapa observer. Namun ada hal yang menarik dari kegiatan yang dilaksanakan. Kegiatan apersepsi berbeda dengan pembelajaran-pembelajaran biasanya karena dilakukan oleh setiap siswa dalam kegiatan mini dengan mengerjakan soal kecil tentang cita-cita.
Pada saat pembelajaran sudah dapat meminimalisir adanya kelompok semu, yakni guru masih memberi petunjuk secara klasikal. Tetapi ada beberapa anak yang masih berdiskusi dengan kelompok lain yang tidak terlihat oleh pengamatan guru. Kemudian pada makanan yang digunakan sebagai media lebih baik jika dipilih makanan sehat, bukan mie instan. Selanjutnya akan lebih bagus jika dari kubus yang dibongkar langsung dijiplak jarring-jaringnya oleh siswa, sehingga siswa menemukan berdasarkan pengalaman langsung.

Namun terlepas dari kekurangan tersebut ada banyak hal yang sudah baik dari kegiatan ini. Pada perangkat pembelajarannya sudah sangat baik. Hal ini dikarenakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan learning trajectory serta atas dukungan dan bimbingan dari Prof. Marsigit. Sehingga ada banyak hal dari proses pembelajaran yang berbeda dan benar-benar memberikan kepercayaan penuh kepada siswa. Siswa dibiarkan mengkonstruk pengetahuannya sendiri secara kolaboratif dengan rekannya.  

PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS LEARNING TRAJECTORY DI SEKOLAH DASAR


Ratna Winahyu Hadiyanti
NIM. 14712251007
Pendidikan Dasar Konsentrasi Praktisi


Berikut ini Paper yang disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengembangan Learning Trajectory

Dosen pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.


Selengkapnya lihat di sini.

Senin, 27 April 2015

Identifikasi dan Pengembangan Pembelajaran Matematika di SD menggunakan Pendekatan Gunung Es Matematika Realistik

Oleh Ratna Winahyu Hadiyanti
NIM. 14712251007
Pendidikan Dasar Konsentrasi Praktisi


Pembelajaran Matematika Realistik adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905-1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia (Bobby Riana). Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata (Sudharta dalam Bobby Riana).
Pendidikan Matematika Realistik berdasarkan ide bahwa mathematics as human activity dan mathematics must be connected to reality, sehingga pembelajaran matematika diharapkan bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Teori ini telah diadopsi dan diadaptasi oleh banyak negara oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, USA, dan Jepang.
Selanjutnya dalam Bobby Riana disebutkan dua pandangan penting Freudenthal tentang Pendidikan Matematika Realistik adalah:
1.  Mathematics as human activity, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika.
2. Mathematics must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat dengan siswa dan harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Ida Nurmila Isandespha (2013: 72) memaparkan bahwa pendidikan matematika realistik mengajak anak belajar matematika melalui lingkungannya, sehingga dengan pengalaman yang dimiliki anak ini pembelajaran matematika menjadi menyenangkan dan bermakna. Dengan pembelajaran yang menyenangkan maka sikap siswa terhadap matematika akan menjadi lebih positif dan motivasi belajar pun akan terbangun dengan sendirinya.
Menurut Gravemeijer dalam Ida Nurmila Isandespha (2013: 72), PMR memiliki lima karakteristik pembelajaran matematika yaitu:
1. Penggunaan konteks; proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
2. Instrumen vertikal; konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal.
3. Kontribusi siswa; siswa aktif mengkonstruksi bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan guru.
4.   Kegiatan interaktif; kegiatan belajar bersifat interaktif, yang mungkin terjadi komunikasi dan negosiasi antarsiswa.
5.  Keterkaitan topik; pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan berbagai topik matematika secara terintegrasi.

Berikut ini ditampilkan deskripsi dan iceberg proses pembelajaran menentukan kelipatan bilangan pada kelas IV Sekolah Dasar.
Materi ini berada pada Kompetensi Dasar 3.4 Memahami faktor dan kelipatan bilangan serta bilangan prima.
Langkah-langkah mulai dari matematika konkret hingga matematika formal adalah sebagai berikut:
1.   Matematika konkret
Tanya jawab sekitar menabung dan siswa memberi contoh mengenai menabung serta hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan menabung.

2.   Model konkret
Siswa melakukan simulasi menabung di bank secara berkelompok.

3.   Model formal
Diskusi kelompok dengan mendata kelipatan hasil tabungan.

4.   Matematika formal
Pada level ini siswa membangun konsep tentang pengertian kelipatan suatu bilangan.



Referensi:
1. Bobby Riana. Pembelajaran Matematika Realistik. https://www.academia.edu/7382779/Pembelajaran_Matematika_Realistik 
2. Ida Nurmila Isandespha, Suwarjo. (2013). Implementasi PMRI Asesmen Portofolio untuk Meningkatkan Sikap Positif terhadap Matematika dan Motovasi Belajar. Jurnal Prima Edukasia, Volume 1 – Nomor1, 2013.

Selasa, 14 April 2015

MEMBANGUN LEARNING TRAJECTORY DAN MENERAPKAN TEACHING TRAJECTORY OLEH RATNA WINAHYU HADIYANTI

Hasil Refleksi perkuliahan dengan Prof. Dr. Marsigit, MA


Istilah Learning Trajectory pertama kali digunakan oleh Simon yang mengajukan konsep tentang hypothetical learning trajectory. Learning trajectory yaitu lintasan atau rute belajar yang memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah dimiliki siswa (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik ke titik berikutnya, menggambarkan proses berpikir yang siswa gunakan, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan.
Ada tiga komponen utama dari learning trajectory, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran sebagai jalan untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan dalam pembelajaran dapat disusun menjadi sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir dari learning trajectory adalah hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun alternative strategi untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Learning trajectory atau bagaimana cara anak-anak berpikir ketika mereka belajar untuk mencapai tujuan spesifik dari proses pembelajaran, melalui serangkaian tugas-tugas instruksional yang dirancang untuk menimbulkan proses-proses mental atau tindakan yang dihipotesiskan untuk memindahkan anak-anak melalui pengembangan perkembangan berfikir anak.
Dapat disimpulkan lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak pada berbagai tingkatan, dan aktivitas pembelajaran yang mungkin menarik bagi siswa.
Sesuai refleksi dari perkuliahan dengan Prof. Marsigit dalam membangun learning trajectory sudah semestinya seorang guru harus bisa menyesuaikan dengan keadaan. Secara filsafat seorang guru harus bisa menyesuaikan ruang dan waktu. Untuk dapat mencapai hal tersebut seorang guru tidak boleh untuk merasa puas dengan pengetahuan yang dmilikinya. Seorang guru harus selalu belajar. Bukan hanya belajar saja tetapi juga harus senantiasa tawakal, tekun, rajin, dan sabar.
Guru harus mengetahui dan memahami perangkat pembelajaran yang berupa UUD 1945, UU, PP, kurikulum, silabus, RPP, LKS, dll. Namun seorang guru tidak hanya berpedoman pada perangkat pembelajaran saja. Guru yang hanya berpedoman hal tersebut sama halnya dengan tukang. Guru yang baik harus mengetahui setiap tingkatan di atasnya yaitu sesuatu yang akuntabel. Agar guru dapat dipercaya maka harus mau untuk membaca berbagai referensi yang bersumber dari buku, internet, dsb.
Guru juga harus mengetahui mengenai teori-teori belajar. Dari teori-teori belajar tersebut guru dapat memprediksi alur belajar siswa. Dari hal tersebut guru dapat membangun learning trajectory. Melalui pengetahuannya akan berbagai macam teori maka seorang guru dapat memilih pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran.

Teaching trajectory berkaitan dengan bagaimana cara mengajar kepada siswa. Oleh karena itu membangun learning trajectory dan menerapkannya dalam teaching trajectory akan memaksimalkan kemampuan berpikir siswa. Hal tersebut hanya akan dapat dicapai oleh guru professional. Guru yang berkompeten akan selalu mencari inovasi-inovasi pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga dapat membentuk siswa yang memiliki karakter baik seperti bertakwa, mandiri, dan cendekia sehingga dapat bertahan oleh gempuran paham-paham yang melunturkan kebudayaan bangsa.  

Learning dan Teaching Trajectory


Refleksi Kuliah kedelapan Mata Kuliah Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar
Dosen Pengampu Prof. Dr. Marsigit
Rabu, 8 April 2015

“Penuhilah dirimu dengan doa dan ikhtiar”
Prof. Marsigit





Foto Perkuliahan Pertemuan ke delapan di R. 200B Gedung lama Pascasarjana UNY



Direfleksikan oleh:
Ratna Winahyu Hadiyanti
14712251007
Pendidikan Dasar Konsentrasi Praktisi


Learning dan Teaching Trajectory selalu berdampingan dan melengkapi. Secara filsafati, learning dan teaching trajectory dapat dipisahkan oleh garis imajiner. Learning dan Teaching Trajectory merupakan pasangan selayaknya pasangan spiritual-material. Learning Trajectory merupakan lintasan atau jalan dalam mengantarkan siswa belajar, dari hal ini menjawab bagaimana siswa belajar. Komponen yang dapat mendukung kegiatan ini yaitu dokumen resmi. Dokumen resmi itu dapat dikatakan formalnya, antara lain UU 1945, UU, PP, kurikulum, silabus, RPP, LKS, dan lain-lain yang kesemuanya disebut perangkat. Apabila dalam membelajarkan siswa seorang guru hanya berpedoman pada perangkat pembelajaran saja berarti guru tersebut masih berada dalam tahap pekerja “tukang”. Sedangkan guru yang baik dan profesional harus mengetahui setiap tingkatan di atasnya yaitu sesuatu yang dapat dipercaya (akuntabel). Guru yang baik adalah guru yang dapat mengajar dengan baik (Teaching Trajectory).
Menurut Prof. Marsigit dalam perkuliahan yang diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 8 April 2015, guru yang baik berarti guru yang dapat menerjemahkan makna Learning dan Teaching Trajectory. Kegiatan ini dapat terwujud dengan cara membaca banyak referensi dari berbagai sumber pengetahuan seperti buku, bahan ajar, blog, jurnal, dan lain-lain. Membaca di sini bukan hanya asal membaca, namun harus dipahami setiap maknanya sehingga guru akan semakin mengerti dan memahami dalam menyikapi setiap permasalahan di dunia. Dalam bersikap setiap guru harus dapat menunjukkan sikap sopan santun. Sikap sopan santun ini merupakan pencitraan bahwa guru sudah dapat mengerti hermenitika kehidupan. 
Guru yang dapat mengerti hermenitika kehidupan dapat membangun Learning Trajectory dan menerapkan dalam Teaching Trajectory. Dalam membangun Learning Trajectory dan menerapkannya ke dalam Teaching Trajectory membutuhkan proses. Proses tersebut diawali dari cara mendapatkan ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kegiatan pembelajaran. Selanjutnya cara untuk mendapatkan Learning Trajectory dapat diperoleh dari kita belajar dan banyak membaca. Selain hal tersebut juga berasal daripegalaman yang kita peroleh kemudian diaplikasikan ke dalam Teaching Trajectory yaitu bagaimana cara mengajarkannya kepada siswa.



Learning Trajectory

Behaviorism Theory
Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori behaviorisme yaitu Skinner, Thorndike, Pavlov. Teori behaviorisme menjelaskan pembelajaran dalam kaitannya dengan lingkungan. Meskipun teori dari tokoh-tokoh tersebut memiliki karakteristik tersendiri, namun tokoh behavioris secara umum memandang pembelajaran sebagai sebuah proses pembentukan asosiasi-asosiasi antara stimulus-stimulus dan respon-respon (Schunk, 2012: 156).
Papalia (2010: 43) menyebutkan bahwa behaviorisme merupakan teori pembelajaran yang menekankan peran lingkungan yang dapat diprediksikan sebagai sebab perilaku yang teramati. Behavioris meyakini bahwa manusia di semua tingkatan usia mempelajari dunia dengan cara yang sama dengan yang dilakukan organisme lain, yaitu dengan bereaksi terhadap kondisi, atau aspek lingkungan mereka, yang dengannya mereka menemukan kepuasan, kesedihan, atau ancaman. Penelitian behavioral focus kepada pembelajaran asosiatif, di mana hubungan mental antara dua peristiwa terbentuk.
Sesuai dengan teori ini, siswa akan meningkatkan respon yang baik apabila dikondisikan dengan penguatan (reinforcement). Alur pikir siswa dalam proses pembelajaran mengarahkan bahwa stimulus yang diberikan guru akan memberikan respon yang lebih baik dari biasanya apabila diberi penguat respon. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran seorang guru selalu mengaktifkan penguatan-penguatan yang dilakukan secara konsisten agar terjadi perubahan perilaku ataupun peningkatan pengetahuan bagi siswa. 

Social Cognitive Theory,
Menurut Santrock (2012: 30), teori kognitif sosial menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan kognisi merupakan faktor penting dalam perkembangan siswa. Psikolog dari Amerika, Albert Bandura merupakan tokoh utama dari teori kognitif sosial. Bandura dalam Santrock (2012: 30) menegaskan bahwa proses-proses kognitif memiliki kaitan penting dengan lingkungan dan perilaku. Fokus utama dari teori ini yaitu pembelajaran melalui observasi atau observational learning (disebut juga imitation atau modeling), yaitu pembelajaran dengan menggunakan observasi terhadap hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Berdasarkan teori tersebut dapat terlihat bahwa sesungguhnya siswa mempelajari hal-hal baru dari proses observasi dalam bentuk imitation atau modeling. Dari hal tersebut maka dalam proses pembelajaran seorang guru memfasilitasi siswanya dengan memberikan contoh-contoh yang baik. Seperti pada penanaman karakter yang baik pada siswa, seorang guru dapat menampilkan karakter yang baik pada dirinya sendiri untuk diobservasi siswa. Selain itu juga dapat ditampilkan tokoh-tokoh berkarakter baik yang dapat diamati dan ditiru oleh siswa.

Cognitive Information Proccesing,
Santrock (2012: 29) menyebutkan bahwa teori kognitif pemrosesan informasi mengedepankan bahwa siswa memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi-informasi yang ditemuinya. Teori kognitif pemrosesan informasi serupa dengan teori Vygotsky. Pada teori ini, siswa secara bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang kompleks. Robert Siegler dalam Santrock (2012: 29) memaparkan bahwa ketika siswa menangkap, menuliskan sandi (encoding), menampilkan, menyimpan, dan mengeluarkan kembali informasi maka mereka sedang berpikir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa inti teori ini adalah proses memori dan pemikiran.

Meaningful Learning Theory
Ausubel dalam Schunk (2012: 306) menyebutkan bahwa belajar menjadi bermakna ketika materi yang baru memiliki hubungan sistematis dengan konsep-konsep yang relevan dengan Long Term Memory, yang berarti materi baru memperluas, memodifikasi, atau mengembangkan informasi dalam memori. Kebermaknaan juga tergantung pada variabel-variabel personal seperti usia, latar belakang pengalaman, status sosial-ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Pengalaman-pengalaman yang telah lalu menentukan apakah siswa merasa pembelajarannya memiliki makna.
Ausubel mendukung pengajaran deduktif, ide-ide umum diajarkan terlebih dahulu baru diikuti dengan poin-poin spesifik. Dalam hal ini guru harus membantu siswa memecah ide-ide menjadi poin-poin yang lebih kecil dan spesifik, dan menghubungkan ide-ide baru dengan muatan serupa di dalam memori.

Developmental Approach
Developmental Approach dapat diartikan dengan pendekatan yang disesuaikan dengan perkembangan manusia. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan teori-teori perkembangan manusia. Meece dalam Schunk (2012: 611) mengidentifikasikan teori perkembangan menjadi lima kelas teori utama yaitu biologi, psikoanalitik, perilaku (behavior), kognitif, dan kontekstual.

·         Teori biologi
Pada teori biologi memandang individu berjalan melalui urutan tahapan yang tidak bervariasi. Perkembangan dipandang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga komponen kemajuan tahapan ditentukan oleh genetik. Dari hal ini memberi pandangan bahwa siswa dapat memahami suatu perhitungan dikarenakan bawaan lahir. Inteligensi merupakan bawaan dari lahir.
·         Teori Psikoanalitik
Pada teori psikoanalitik, perkembangan menampilkan serangkaian perubahan di dalam kepribadian yang dibawa oleh pemenuh kebutuhan. Tahapan memiliki sifat yang berbeda secara kualitatif. Dua pencetus teori psikoanalitik terkenal adalah Sigmund Freud dan Erik Erikson. Pandangan Freud, apabila kebutuhan untuk memperoleh kepuasan kurang terpenuhi atau terlalu terpenuhi, individu akan mengalami fiksasi atau terkunci di tahap perkembangan itu. Tahap perkembangan Freud terdiri dari tahap oral, anal, falik, laten dan genital. Seperti halnya Freud, Erikson menyatakan bahwa individu melalui tahap-tahap perkembangan yang saling terpisah dan berlaku universal. Teori Erikson mencakup delapan tahap perkembangan manusia.Delapan tahapan tersebut yaitu kepercayaan versus ketidakpercayaan, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, prakarsa versus rasa bersalah, semangat versus rasa rendah diri, identitas versus kebingungan identitas, keakraban versus keterkucilan, generativitas versus stagnasi, dan integritas versus keputusasaan.
Schunk (2012: 612) menyebutkan bahwa teori psikoanalitik menekankan peran faktor pembawaan dalam perkembangan. Kebutuhan merupakan pembawaan dari perkembangan manusia dan pembelajaran dalam perkembangan dibutuhkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan.
·         Teori perilaku atau behavior
Teori perilaku atau behavior berbeda dengan teori biologis dan psikoanalitik yang menekankan pada bawaan. Pada teori ini perubahan utama dari perkembangan terjadi sebagai akibat dari pengkondisian. Teori ini juga menekankan bahwa perubahan utama dalam perilaku berasal dari lingkungan, yang memberikan stimulus yang direspon anak dan pelaksanaan dan hukuman sebagai konsekuensi tindakan mereka.
·         Teori kognitif
Teori kognitif dimulai oleh penelitian Piaget di awal tahun 1960-an. Schunk (2012: 613) memaparkan bahwa teori kognitif memberi pengaruh dalam bidang perkembangan manusia. Teori kognitif bersifat konstruktif. Teori ini mendalilkan bahwa pemahaman tidaklah otomatis. Dalam teori ini memiliki anggapan bahwa siswa menerima informasi dan memformulasikan pengetahuan mereka. Pendukung teori kognitif adalah teori Piaget, Vygotski, teori pemrosesan informasi ( Santrock, 2012: 27). Santrok (2012: 27) memaparkan bahwa teori Piaget menyatakan bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mereka mengenai dunia dan melalui empat tahap perkembangan kognitif yang terdiri dari tahap sensorimotor, tahap praoperasi, tahap operasional konkret, tahap operasional formal. Kemudian teori Vygotski menitikberatkan atau memfokuskan bagaimana budaya dan interaksi sosial mengarahkan perkembangan kognitif. Dan teori pemrosesan informasi mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi terhadap informasi-informasi yang ditemuinya.
·         Teori kontekstual
Schunk (2012: 614) menjelaskan bahwa dalam teori ini menyoroti peran yang dimainkan faktor sosial dan budaya. Model kontekstual terkenal diformulasikan oleh Bronfenbrenner, yang mendalilkan bahwa dunia social anak dapat dikonsepkan sebagai satu set lingkaran konsentris. Bronfenbrenner dalam Papalia (2010 : 53) mengidentifikasikan lima system kontekstual yang saling berkaitan, mulai dari yang paling dekat hingga yang paling luas yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, makrosystem, dan kronosystem. Mikrosistem merupakan istilah Bronfenbrenner untuk tata situasi tempat anak berinteraksi dengan yang lain dalam keadaan bertatap muka dan terjadi dalam keseharian. Mesosistem adalah istilah untuk keterhubungan antara dua atau lebih mikrosistem. Exosistem adalah istilah untuk hubungan antara dua atau lebih tata situasi, dan salah satunya tidak mengandung anak yang sedang berkembang. Makrosistem adalah istilah untuk keseluruhan pola kultural masyarakat. Dan kronosistem adalah istilah terhadap efek waktu dalam sistem perkembangan lain. Bronfenbenner dalam Papalia (2010: 55) memandang bahwa seseorang bukansemata-mata hasil dari perkembangan tetapi juga pebentuk perkembangan. Manusia memberi dampak pada perkembangannya sendiri melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan keterampilan, kecacatan serta temperamen.  
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan perkembangan mengedepankan fase perkembangan siswa. Sehingga proses pembelajaran menyesuaikan dengan fase perkembangan siswa.

Social Formation Theory
Teori ini dapat diartikan menjadi teori formasi sosial. Teori ini memberikan pandangan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Tokoh teori ini adalah Vygotski.
Interaksi sosial dipelajari anak dari orang yang kemampuan intelektualnya di atas kemampuan siswa. Guru berperan sebagai pengarah dan pemandu kegiatan siswa dan mendorong siswa yang mampu untuk bekerja mandiri.
Pembelajaran berdasarkan scaffolding yaitu memberikan keterampilan yang penting untuk pemecahan masalah secara mandiri seperti berdiskusi dengan siswa, praktek langsung dan memberikan penguatan. Guru yang memberikan bantuan penuh secara bertahap justru akan mengurangi pemahaman siswa.
Zone of proximal development (ZPD) adalah wilayah di mana anak mampu untuk belajar dengan bantuan orang yang kompeten. Area ini berada antara kemampuan anak belajar sendiri dan apa yang masih mampu diupayakannya dengan bantuan orang lain.

Representation and Discovery Learning
Sugihartono (2013: 111) menyebutkan bahwa Jerome Brunner mempelopori pendekatan penemuan (discovery). Menurut Brunner, belajar adalah proses yang bersifat aktif terkait dengan ide Discovery Learning yaitu siswa berinteraksi dengan lingkungannya melalui eksplorasi dan manipulasi obyek, membuat pertanyaan dan menyelenggarakan eksperimen. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam siswa adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil.
Brunner mengemukakan bahwa proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang dikemukakan Piaget. Brunner menjelaskan perkembangan dalam tiga tahap, yaitu:
1.    Enaktif (0-3 tahun), yaitu pemahaman anak dicapai melalui eksplorasi dirinya sendiri dan manipulasi fisik-motorik melalui pengalaman sensori.
2.    Ikonik (3-8 tahun), anak menyadari sesuatu ada secara mandiri melalui gambar yang konkret bukan yang abstrak.
3.    Simbolik (>8 tahun), anak sudah memahami simbol-simbol dan konsep seperti bahasa dan angka sebagai representasi simbol.

Constructivist Approach
Schunk (2012: 580) menyebutkan bahwa pakar-pakar konstruktivis terkemuka mengasumsikan bahwa siswa menyusun pengetahuan dan cara untuk mendapatkan pengetahuan dan menerapkannya. Kaum konstruktivis memandang pengaturan-diri pada siswa bersandar pada asumsi tertentu. Asumsi-asumsi tersebut yaitu:
·           Ada sebuah motivasi intrinsik untuk mencari informasi
·           Pemahaman melampaui informasi yang diberikan
·           Representasi mental berubah seiring perkembangan
·           Ada perbaikan progresif dalam tingkatan pemahaman
·           Ada hambatan perkembangan dalam pembelajaran
·           Refleksi dan rekonstruksi merangsang pembelajaran
Adanya pendekatan kontruktivis melibatkan koordinasi fungsi mental, seperti memori, perencanaan, evaluasi, dan sintesis. Siswa menggunakan alat dalam budaya mereka, misalnya bahasa dan simbol, untuk menyusun makna isi dan situasi. Melalui pendekatan ini mereka menyusun sendiri dan mengatur sendiri pengetahuan dari lingkungan mereka, kemudian mereka mengubah dan mengadaptasinya untuk digunakan bagi pengetahuan baru yang dibangun oleh mereka sendiri.

Social Approach
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang menekankan interaksi dengan lingkungan. Pendekatan sosial dapat dikaitkan dengan teori-teori yang mengedepankan konteks sosial seperti teori dari Bandura, dan Vygotski.
Melalui pendekatan sosial seorang guru mengedepankan interaksi sosial lingkungan pada pembelajaran. Sesuai teori Bandura, siswa siswa belajar dengan cara mengobservasi dan mengimitasi model, yang mereka lakukan dengan melihat orang lain. Vygotski memandang bahwa sumber pikiran siswa terdapat pada proses social. Menurut Vigotski dalam Papalia (2010: 56) menyebutkan bahwa orang dewasa atau teman sebaya maupun teman yang lebih tua dapat membantu mengarahkan dan mengorganisasi proses pembelajaran anak sebelum anak mampu menguasainya dan menginternalisasinya. Oleh karena itu dalam pembelajaran seorang guru harus dapat menjadi fasilitator yang baik dan juga menjadi model yang baik. Bimbingan dari guru ini sangat efektif dalam membantu anak untuk melewati zone of proximal development (ZPD), kesenjangan antara apa yang telah dapat mereka lakukan sendiri dan apa yang belum dapat dilakukan seorang diri oleh siswa.

Technological Approach
Pendekatan berbasis teknologi merupakan proses pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi untuk membelajarkan siswa. Pendekatan ini menjadi pilihan guru untuk melayani keragaman kecerdasan yang dimiliki siswa dan juga gaya belajar siswa. Horward Gardner menyatakan ada delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan logika matematika, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan visual dan kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, serta kecerdasan naturalis. Selain keragaman dan kemajemukan kecerdasan, siswa juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Ada tiga macam gaya belajar yaitu gaya belajar visual, audio, dan kinestetik.
Untuk memfasilitasi keberagaman kecerdasan dan gaya belajar siswa, seorang guru harus memilih pendekatan yang dapat mencakup seluruh kebutuhan tersebut. Adanya perkembangan teknologi menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran. Pendekatan berbasis teknologi merupakan inovasi dari pengembangan sebuah konsep dalam bidang ilmiah untuk menjelaskan sifat dan tingkat perubahan teknologi.


Hubungan berbagai macam teori dengan Alur Belajar Siswa

Belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa. Kegiatan belajar memberikan dampak perubahan ke arah yang lebih baik bagi diri siswa. Proses pembelajaran dengan memberdayakan siswa akan menjadikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pembelajaran bermakna bagi siswa merupakan pembelajaran yang membekas pada ingatan siswa dalam ingatan yang lama. Seorang guru dapat memfasilitasi dengan cara melihat cara belajar siswa, dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat. Pendekatan perkembangan digunakan untuk mengimbangi tingkat kematangan perkembangan siswa. Pendekatan dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik siswa yang muncul di setiap fase perkembangan. Pembelajaran discovery, pendekatan kontruktivis, dan pendekatan teknologi digunakan guru dalam membelajarkan siswa untuk mencapai pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran bermakna ini awalnya dimulai dengan memperhatikan teori behavior yang mengedepankan mengenai perilaku atau respon siswa. Seorang guru harus dapat memprediksi perubahan perilaku siswa atau respon siswa. Setelah itu guru juga harus dapat memahami bahwa sebenarnya siswa itu belajar dari kegiatannya dalam mengobservasi atau mengamati ke lingkungan sekitar. Proses ini berkaitan dengan teori social, baik kognitif sosial maupun formasi sosial. Dari hal ini seorang guru harus dapat memanipulasi lingkungan belajar siswa, sehingga proses imitasi akan memberikan dampak perubahan perilaku yang lebih baik. Selain itu dengan mengaktifkan pendampingan dan tutor sebaya dapat memaksimalkan ZPD yang dimiliki siswa. Setelah itu seorang guru juga harus bisamemahami teori tentang pemrosesan informasi. Sehingga guru dapat memaksimalkan siswa dalam memproses pengetahuan yang diperolehnya. Siswa dapat menyusun strategi yang baik dalam memanipulasi dan memproses informasi baru menjadi sebuah pengetahuan. Menurut saya itu semua adalah pengelolaan dari seorang guru dalam membangun Learning Trajectory dan menerapkan Teaching Trajectory sehingga siswa dapat terfasilitasi. Dan segala kebutuhan siswa terpenuhi. Selain itu kompetensi siswa secara keseluruhan dapat berkembang secara maksimal.






DAFTAR PUSTAKA

Papalia, Diane E., et al. (2010). Human Development Psikologi Perkembangan (9th ed). Terjemahan A. K, Anwar. Jakarta: Kencana.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup (Edisi Ketigabelas Jilid I). (Terjemahan Benedictine Widyasinta). Jakarta: Erlangga.
Schunk, Dale H. (2012). Learning Theories An Educational Perspective (Edisi Keenam). (Terjemahan Eva Hamdiah, Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihartono, dkk. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. 

Selasa, 07 April 2015

STUDI BANDING PBM (PROSES BELAJAR MENGAJAR) MATEMATIKA DI SEBUAH SD DI JEPANG MELALUI VTR (VIDEO TAPE RECORDER)

Penayangkan sebuah video pembelajaran matematika di sebuah SD di Jepang ditampilkan dalam perkuliahan keenam bersama Profesor Marsigit. Video tersebut menyajikan hal yang berbeda dengan pembelajaran di Indonesia. Video tersebut menayangkan sebuah pembelajaran yang dilakukan secara tim oleh dua orang guru. Ada hal baik yang bisa kita tiru untuk pembelajaran matematika di sekolah dasar, yaitu melalui kegiatan berkelompok siswa diajak untuk mengkritisi sebuah persoalan. Dalam hal ini, secara berkelompok siswa bebas menentukan apa yang ditemukannya tentang pola bilangan dari tabel perkalian yang disajikan.
Dalam PBM yang terjadi di Jepang, terlihat bahwa guru memberdayakan siswa-siswanya. Guru mengontrol dan melayani siswanya yang membutuhkan. Selain itu tim guru yang terdiri dari dua guru tersebut sesekali melakukan diskusi tentang kegiatan siswanya.
Dengan mengambil sisi baik dari PBM tersebut, berikut usaha saya dalam mengembangkan PBM sejenis sesuai dengan konteks budaya local saya (Jawa-Indonesia). Saya mengangkat pembuatan batik geometri yang dilakukan secara berkelompok. Dari kegiatan membatik secara berkelompok siswa-siswa akan mengkreasikan hasil karyanya berdasarkan diskusi kelompoknya.
Nilai-nilai budaya yang terintegrasi dalam pembelajaran matematika tidak lepas dengan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika dan pembelajaran matematika. Hal tersebut ditunjang dengan pengetahuan tentang keterkaitan antara matematika dan kebudayaan. Perlu kinerja guru secara kreatif untuk mengembangkan proses pembelajaran dengan mengintegrasikan pelestarian kebudayaan setempat.
Seorang guru harus dapat mengetahui kebudayaan yang ada di lingkungannya dan dapat mengntegrasikan kebudayaan yang ada dengan kegiatan pembelajaran agar siswa lebih mencintai kebudayaan daerahnya sendiri.
Salah satu kebudayaan khas Indonesia dari daerah Jawa adalah batik. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama (Wikipedia). Christiwi Yuli Handani (2010) menyebutkan bahwa batik atau kata batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” dan “titik”, “amba” mempunyai arti menulis dan “titik” mempunyai arti noktah atau goresan yang terbentuk. Kata batik merujuk pada kain dengan corak atau gambar yang dihasilkan oleh bahan malam yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna.
Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia (Jawa) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB (Wikipedia).
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi turun temurun sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Motif batik dapat dimodifikasi sesuai imajinasi pembuatnya.
Pada masa lampau perempuan-perempuan Jawa menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan mebatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan. Sekarang kerajinan membatik sudah sangat kurang diminati oleh masyarakat. Bahkan banyak yang lebih memilih memproduksi batik cap daripada batik tulis. Padahal dari kegiatan kerajinan batik dapat menumbuhkan ketelitian dan ketelatenan.
Kerajinan membatik yang dimasukkan dalam pembelajaran di sekolah dasar dapat menumbuhkan ketelatenan dan ketelitian dalam membuat motif batik. Hal ini sejalan dengan karakter yang diperlukan dalam pembelajaran matematika. Siswa akan lebih telaten dan teliti mulai dari menggambar dan menentukan ukuran-ukuran motif batik.
Membatik dapat dijadikan salah satu cara sehingga siswa dapat memahami konsep-konsep tentang bangun datar. Dengan telaten dan teliti, siswa menyusun bentuk-bentuk bangun datar menjadi motif batik yang menarik. Sehingga siswa dapat membangun sendiri konsep mengenai sifat-sifat bangun datar.
Kegiatan pembelajaran matematika untuk membangun konsep mengenai sifat-sifat bangun datar dapat dilakukan dengan cara:
1.   Siswa menggambar bentuk-bentuk bangun datar.
2.   Siswa berkelompok, kemudian menggambar motif di kain dengan gambar-gambar bangun datar.
3.   Setiap kelompok mengkreasikan batik geometri ciptaannya.
4.   Setelah selesai, perwakilan kelompok mempresentasikan motif batik ciptaannya dan menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun datar-bangun datar yang digunakannya.
5.   Kegiatan selanjutnya adalah proses pewarnaan batik menggunakan bahan pewarna alami.
6.   Kemudian setelah proses pembuatan batik selesai, batik geometri kreasi siswa dapat dipajang di kelas.




Dari rangkaian pembelajaran matematika dengan kerajinan membatik dapat menumbuhkan ketelatenan dan ketelitian siswa dalam membuat bangun datar, sehingga siswa lebih teliti dalam menggambar bangun datar sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Selain itu siswa akan ikut melestarikan kebudayaan daerahnya. Siswa dapat mengembangkan imajinasinya untuk membuat motif-motif baru.

Referensi:
1.   Christiwi Yuli Handani. 2010. Melestarikan Batik sebagai Warisan Budaya Indonesia. http://christiyulihandani.blogspot.com/2010/05/melestarikan-batik-sebagai-warisan.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
2.   Wikipedia. Batik. http://id.wikipedia.org/wiki/Batik. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.